Menurut Dr. Jalaluddin dalam bukunya “Psikologi Agama” bahwa :
“Kesehatan mental merupakan suau kondisi batin yang senantiasa berada dalam
keadaan tenang, aman dan tentram, dan upaya untuk menemukan ketenangan batin dapat
dilakukan antara lain melalui penyesuaian diri secara resignasi (penyerahan diri
sepenuhnya kepada Tuhan)”.
Sedangkan menurut paham ilmu kedokteran, kesehatan mental
merupakan suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan
emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras
dengan keadaan orang lain.
Zakiah Daradjat mendefenisikan bahwa mental yang sehat adalah
terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan
terciptanya penyesuaian diri antara individu dengan dirinya sendiri dan
lingkungannya berdasarkan keimanan dan ketakwaan serta bertujuan untuk mencapai
hidup bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat. Jika mental sehat dicapai,
maka individu memiliki integrasi, penyesuaian dan identifikasi positif terhadap
orang lain. Dalam hal ini, individu belajar menerima tanggung jawab, menjadi
mandiri dan mencapai integrasi tingkah laku.
Dalam
mendefinisikan kesehatan mental, sangat dipengaruhi oleh kultur dimana
seseorang tersebut tinggal. Apa yang boleh dilakukan dalam suatu budaya
tertentu, bisa saja menjadi hal yang aneh dan tidak normal dalam budaya lain,
dan demikian pula sebaliknya (Sias, 2006). Menurut Pieper dan Uden (2006),
kesehatan mental adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mengalami perasaan
bersalah terhadap dirinya sendiri, memiliki estimasi yang realistis terhadap
dirinya sendiri dan dapat menerima kekurangan atau kelemahannya, kemampuan
menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya, memiliki kepuasan dalam kehidupan
sosialnya, serta memiliki kebahagiaan dalam hidupnya. Notosoedirjo dan Latipun
(2005), mengatakan bahwa terdapat banyak cara dalam mendefinisikan kesehatan
mental (mental hygene) yaitu : (1) karena tidak mengalami gangguan mental, (2)
tidak jatuh sakit akibat stessor, (3) sesuai dengan kapasitasnya dan selaras
dengan lingkungannya, dan (4) tumbuh dan berkembang secara positif.
1. Sehat
mental karena tidak mengalami gangguan mental. Orang yang sehat mentalnya
adalah orang yang tahan terhadap sakit jiwa atau terbebas dari sakit dan
gangguan jiwa. Vaillaint (dalam Notosoedirjo & Latipun, 2005), mengatakan
bahwa kesehatan mental atau psikologis itu “as the presence of successfull
adjustment or the absence of psychopatology”. Pengertian ini bersifat
dikotomis, bahwa orang berada dalam keadaan sakit atau sehat psikisnya. Sehat
jika tidak terdapat sedikitpun gangguan psikisnya, dan jika ada gangguan psikis
maka diklasifikasikan sebagai orang sakit. Dengan kata lain sehat dan sakit itu
mental itu bersifat nominal yang dapat dibedakan kelompok-kelompoknya. Sehat
dengan pengertian ”terbebas dari gangguan”, berarti jika ada gangguan
sekialipun sedikit adanya, seseorang itu dianggap tidak sehat.
2. Sehat
mental jika tidak sakit akibat adanya stressor Notosoedirjo dan Latipun (2005),
mengatakan bahwa orang yang sehat mentalnya adalah orang yang dapat menahan
diri untuk tidak jatuh sakit akibat stressor (sumber stres). Seseorang yang
tidak sakit meskipun mengalami tekanan-tekanan maka menurut pengertian ini
adalah orang yang sehat. Pengertian ini sangat menekankan pada kemampuan individual
merespon lingkungannya.
3. Sehat
mental jika sejalan dengan kapasitasnya dan selaras dengan lingkungannya,
Michael dan Kirk Patrick (dalam Notosudirjo & Latipun, 2005) memandang
bahwa individu yang sehat mentalnya jika terbebas dari gejala psikiatris dan
individu itu berfungsi secara optimal dalam lingkungan sosialnya. Pengertian
ini terdapat aspek individu dan aspek lingkungan.
4. Sehat
mental karena tumbuh dan berkembang secara positif Frank, L. K. (dalam
Notosudirjo & Latipun, 2005) merumuskan pengertian kesehatan mental secara
lebih komprehensif dan melihat kesehatan mental secara ”positif”. Dia
mengemukakan bahwa kesehatan mental adalah orang yang terus menerus tumbuh,
berkembang dan matang dalam hidupnya, menerima tanggung jawab, menemukan
penyesuaian (tanpa membayar terlalu tinggi biayanya sendiri atau oleh
masyarakat) dalam berpartisipasi dalam memelihara aturan sosial dan tindakan
dalam budayanya.
Dari
berbagai pengertian yang ada, Johada (dalam Notosoedirjo dan Latipun, 2005), merangkum
pengertian kesehatan mental dengan mengemukakan tiga ciri pokok mental yang
sehat :
- Seseorang melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan atau melakukan usaha untuk menguasai, dan mengontrol lingkungannya, sehingga tidak pasif menerima begitu saja kondisi sosialnya.
- Seseorang menunjukkan kebutuhan kepribadiannya mempertahankan integrasi kepribadian yang stabil yang diperoleh sebagai akibat dari pengaturan yang aktif.
- Seseorang mempersepsikan “dunia” dan dirinya dengan benar, independent dalam hal kebutuhan pribadi.
B.F.
Skinner : Teori Kepribadian Behaviorisme
A.
Pendekatan Psikologi Skinner
1.
Tentang Otonomi Manusia
Skinner
menolak seluruh penguraian tingkah laku yang didasarkan pada keberadaan agen
hipotesis yang terdapat dan menentukan diri manusia seperti self, ego dan
sebagainya. Menurut Skinner mekanisme mentalistik dan intrapsikis itu bersumber
pada pemikiran animisme. Skinner menentang anggapan mengenai adanya “agen
internal” dalam diri manusia yang menjadikan manusia memiliki otonomi atau
kemandirian dalam bertingkah laku. Keberadaan manusia otonom itu bergantung
pada pengetahuan kita, dan dengan sendirinya akan kehilangan status dan tidak
diperlukan lagi apabila kita mengetahui lebih banyak tentang tingkah laku. Skinner
berpendapat bahwa kita tidak perlu mencoba untuk menemukan apa itu kepribadian,
keadaan jiwa, perasaan, sifat-sifat, rencana, tujuan, sasaran atau
prasyarat-prasyarat lain dari manusia otonom dalam rangka memperoleh pemahaman
mengenai tingkah laku manusia.
2. Penolakan
atas penguraian fisiologis-genetik
Skinner
tidak percaya bahwa jawaban akhir dari pertanyaan-pertanyaan psikologi akan
bisa ditemukan dalam laboratorium ahli fisiologi. Penolakan Skinner atas
penguraian atau konsepsi-konsepsi fisiologis-genetik dari tingkah laku itu
sebagian besar berlandaskan alasan bahwa penguraian semacam itu tidak
memungkinkan kontrol tingkah laku.
3. Psikologi
sebagai ilmu pengetahuan tingkah laku
Skinner beranggapan
bahwa seluruh tingkah laku ditentukan oleh aturan-aturan, bisa diramalkan dan
bisa dibawa kedalam kontrol lingkungan atau bisa dikendalikan. Menurut Skinner,
ilmu pengetauan tentang tingkah laku manusia, yakni psikologi, pada dasarnya
tidak berbeda dengan ilmu pengetahuan lainnya yang berorientasi kepada data
yang bertujuan untuk meramalkan dan mengendalikan fenomena yang dipelajari
(dalam psikologi Skinner, fenomena yang dipelajari adalah tingkah laku).
4.
Kepribadian menurut perspektif behviorisme
Menurut
Skinner, individu adalah organisme yang memperoleh perbendaharaan tingkah
lakunya melalui belajar. Dia bukanlah agen penyebab tingkah laku, melainkan
tempat kedudukan atau suatu point dimana faktor-faktor lingkungan dan bawaan yang
khas secara bersama menghasilkan akibat atau tingkah laku yang khas pula pada
individu tersebut. Bagi Skinner, studi tentang kepribadian ditujukan kepada
penemuan pola yang khas dari kaitan antara tingkah laku organism dan
konsekuensi-konsekuensi yang diperkuatnya.
B. Pengondisian Operan
Skinner
membedakan dua tipe respons tingkah laku, yakni responden dan operan. Dalam
arti singkatnya, tingkah laku responden adalah suatu respons yang spesifik yang
ditimbulkan oleh stimulus yang dikenal, dan stimulus itu selalu mendahului
respons. Tingkah laku responden yang tarafnya lebih tinggi, dimiliki oleh
individu melalui belajar dan bisa dikondisikan.
1. Mencatat
tingkah laku operant
Skinner beranggapan bahwa hukum-hukum fungsional dari tingkah laku
paling baik dikembangkan dengan memusatkan pada faktor-faktor yang meningkatkan
dan atau mengurangi probabilitas kemunculan respons dilain waktu dari pada
menciptakan stimulus spesifik yang memacu respons. Dalam pengondisian operant,
tingkah laku organisme perlu diukur dan dicatat begitu tingkah laku itu muncul.
Karena sumber data psikologi yang paling berarti adalah tingkatan merespon dari
organisme (jumlah respon yang dihasilkan dari waktu tertentu).
2. Jadwal
penguatan
Inti dari pengondisian operan menunjukkan bahwa tingkah laku yang
diberi penguatan akan cenderung diulang. Sebaliknya, tingkah laku yang tidak
diberi penguatan (dihukum) akan cenderung dihentikan oleh organisme. Selanjutnya,
yang dimaksud dengan jadwal penguatan itu sendiri adalah aturan yang menentukan
dalam keadaan bagaimana atau kapan penguatan-penguatan akan disampaikan. Dalam
sistem Skinner, terdapat beberapa jadwal penguatan yang bebeda, yang kesemuanya
bisa dikategorikan menurut dua dimensi dasar, yaitu :
- Penguatan yang diberikan hanya setelah organisme melalui interval waktu (disebut jadwal penguatan interval).
- Penguatan yang diberikan hanya setelah organisme menunjukkan sebuah respons (disebut jadwal penguatan perimbangan).
3. Tingkah
laku takhyul
Pengondisian operan ini diantarai oleh kausal-temporal antara tingkah
laku organisme dan konsekuensi-konsekuensi yang dihasilkannya. Tetapi sering
terjadi kaitan antara respons dan hasil yang mengikutinya muncul semata-mata
karena kebetulan. Tingkah laku yang disandarkan pada hubungan respon penguatan
kebetulan itu disebut juga tingkah laku takhyul. Menurut Skinner, tingkah laku
takhyul akan muncul dalam keadaan individu percaya bahwa tingkah laku tertentu
yang diungkapkannya merupakan penyebab dari kejadian yang telah dan akan
dialaminya. Skinner juga mengemukakan bahwa tingkah laku takhyul itu tidak
hanya merupakan hasil dari pengalaman pribadi atau kisah pengondisian
individual, melainkan banyak diantaranya yang berasal dari pengalaman bersama
dan turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
4. Shaping
Shaping adalah pembentukan
suatu respons melalui pemberian penguatan atas respons-respons lain yang
mengarah atau mendekati respons yang ingin dibentuk itu. Dengan demikian,
peneliti bisa memperpendek waktu yang bisa diperlukan untuk mengondisikan
respons, dan bisa juga meningkatkan rentang dari tingkah laku operan yang tidak
bisa dicapai melalui pengondisian standar yang kaku.
5.
Pemerkuat sekunder
Skinner berpendapat bahwa pemerkuat itu terdiri dari dua jenis, yakni
pemerkuat primer dan pemerkuat sekunder. Pemerkuat primer (pemerkuat tak
berkondisi) adalah kejadian atau objek yang memiliki sifat memperkuat secara
inheren. Sedangkan pemerkuat sekunder adalah hal, kejadian atau objek yang
memiliki nilai pemerkuat respons melalui kaitan yang erat dengan
pemerkuat primer berdasarkan pengalaman pengondisian atas proses belajar pada
organisme. Perubahan kecil dalam prosedur standar pengondisian operan
menunjukkan bagaimana stimulus netral bisa memperoleh daya atau nilai pemerkuat
bagi suatu tingkah laku. Hal yang paling penting bagi pemerkuat sekunder adalah
kecenderungannya untuk digeneralisasikan apabila dipasangkan dengan lebih dari
satu pemerkuat primer. Skinner menyatakan bahwa pemerkuat sekunder memang
memiliki daya yang besar bagi pembentukan dan pengendalian tingkah laku.
Tetapi, karena masing-masing individu mempunyai pengalaman yang berbeda, maka
nilai pemerkuat sekunder itu belum tentu sama bagi semua orang.
Fenomena
Dalam psikologi perkembangan remaja
dikenal sedang dalam fase pencarian jati diri yang penuh dengan kesukaran dan
persoalan. Fase perkembangan remaja ini berlangsung cukup lama kurang lebih 11
tahun. Mulai usia 11-19 tahun pada wanita dan 12-20 tahun pada pria. Fase
perkebangan remaja ini dikatakan fase pencarian jati diri yang penuh dengan
kesukaran dan persoalan adalah karena dalam fase ini remaja sedang berada di
antara dua persimpangan antara dunia anak-anak dan dunia orang-orang dewasa. Kesulitan dan persoalan
yang muncul pada fase remaja ini bukan hanya muncul pada diri remaja itu
sendiri melainkan juga pada orangtua, dan masyarakat. Dimana dapat kita lihat
seringkali terjadi pertentangan antara remaja dengan orangtua, bahkan dikalangan
remaja itu sendiri. Mengapa hal ini bisa terjadi? Secara singkat dapat
dijelaskan bahwa keberadaan remaja yang ada di antara dua persimpangan fase
perkembanganlah (fase interim) yang membuat fase remaja penuh dengan kesukaran
dan persoalan.
Dapat dipastikan bahwa seseorang yang
sedang dalam keadaan transisi atau peralihan dari suatu keadaan ke keadaan yang
lain seringkali mengalami gejolak dan goncangan yang terkadang dapat berakibat
buruk bahkan fatal (menyebabkan kematian). Namun, pada dasarnya semua
kesukaran dan persoalan yang muncul pada fase perkembangan remaja ini dapat
diminimalisir bahkan dihilangkan, jika orangtua, dan masyarakat mampu memahami
perkembangan jiwa, perkembangan kesehatan mental remaja dan mampu meningkatkan
kepercayaan diri remaja. Persoalan paling signifikan yang sering dihadapi
remaja sehari-hari sehingga menyulitkannya untuk beradaptasi dengan
lingkungannya adalah hubungan remaja dengan orang yang lebih dewasa, terutama
sang ayah, dan perjuangannya secara bertahap untuk bisa membebaskan diri dari
dominasi mereka pada level orang-orang dewasa.
Seperti contoh yang diambil di masyarakat,
remaja melakukan bunuh diri ketika ia hamil diluar nikah dan pasangannya pergi
tanpa tanggung jawab. Ia mengalami tekanan karena harus menanggung malu dan
merasa menjadi aib di keluarganya. Sehingga ia mengambil jalan pintas dan bunuh
diri sebagai solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalahnya. Padahal
kenyataannya itu bukan penyelesain masalah yang tepat, ia malah melakukan hal
yang berdosa.
Sumber :
- https://hikmatkj.wordpress.com/kesehatan/rohani/pengertian-kesehatan-mental-dan-konsep-sehat/
- http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17706/3/Chapter%20II.pdf
- http://www.psychoshare.com/file-152/psikologi-kepribadian/b-f-skinner-teori-kepribadian-behaviorisme.html
- http://afzelia-nadira.blogspot.com/2012/03/contoh-fenomena-kesehatan-mental-di.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar