Selasa, 28 April 2015


Menurut Dr. Jalaluddin dalam bukunya “Psikologi Agama” bahwa : “Kesehatan mental merupakan suau kondisi batin yang senantiasa berada dalam keadaan tenang, aman dan tentram, dan upaya untuk menemukan ketenangan batin dapat dilakukan antara lain melalui penyesuaian diri secara resignasi (penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan)”.

Sedangkan menurut paham ilmu kedokteran, kesehatan mental merupakan suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain.

Zakiah Daradjat mendefenisikan bahwa mental yang sehat adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara individu dengan dirinya sendiri dan lingkungannya berdasarkan keimanan dan ketakwaan serta bertujuan untuk mencapai hidup bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat. Jika mental sehat dicapai, maka individu memiliki integrasi, penyesuaian dan identifikasi positif terhadap orang lain. Dalam hal ini, individu belajar menerima tanggung jawab, menjadi mandiri dan mencapai integrasi tingkah laku.

Dalam mendefinisikan kesehatan mental, sangat dipengaruhi oleh kultur dimana seseorang tersebut tinggal. Apa yang boleh dilakukan dalam suatu budaya tertentu, bisa saja menjadi hal yang aneh dan tidak normal dalam budaya lain, dan demikian pula sebaliknya (Sias, 2006). Menurut Pieper dan Uden (2006), kesehatan mental adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mengalami perasaan bersalah terhadap dirinya sendiri, memiliki estimasi yang realistis terhadap dirinya sendiri dan dapat menerima kekurangan atau kelemahannya, kemampuan menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya, memiliki kepuasan dalam kehidupan sosialnya, serta memiliki kebahagiaan dalam hidupnya. Notosoedirjo dan Latipun (2005), mengatakan bahwa terdapat banyak cara dalam mendefinisikan kesehatan mental (mental hygene) yaitu : (1) karena tidak mengalami gangguan mental, (2) tidak jatuh sakit akibat stessor, (3) sesuai dengan kapasitasnya dan selaras dengan lingkungannya, dan (4) tumbuh dan berkembang secara positif. 

1.     Sehat mental karena tidak mengalami gangguan mental. Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang tahan terhadap sakit jiwa atau terbebas dari sakit dan gangguan jiwa. Vaillaint (dalam Notosoedirjo & Latipun, 2005), mengatakan bahwa kesehatan mental atau psikologis itu “as the presence of successfull adjustment or the absence of psychopatology”. Pengertian ini bersifat dikotomis, bahwa orang berada dalam keadaan sakit atau sehat psikisnya. Sehat jika tidak terdapat sedikitpun gangguan psikisnya, dan jika ada gangguan psikis maka diklasifikasikan sebagai orang sakit. Dengan kata lain sehat dan sakit itu mental itu bersifat nominal yang dapat dibedakan kelompok-kelompoknya. Sehat dengan pengertian ”terbebas dari gangguan”, berarti jika ada gangguan sekialipun sedikit adanya, seseorang itu dianggap tidak sehat.

2.  Sehat mental jika tidak sakit akibat adanya stressor Notosoedirjo dan Latipun (2005), mengatakan bahwa orang yang sehat mentalnya adalah orang yang dapat menahan diri untuk tidak jatuh sakit akibat stressor (sumber stres). Seseorang yang tidak sakit meskipun mengalami tekanan-tekanan maka menurut pengertian ini adalah orang yang sehat. Pengertian ini sangat menekankan pada kemampuan individual merespon lingkungannya.

3. Sehat mental jika sejalan dengan kapasitasnya dan selaras dengan lingkungannya, Michael dan Kirk Patrick (dalam Notosudirjo & Latipun, 2005) memandang bahwa individu yang sehat mentalnya jika terbebas dari gejala psikiatris dan individu itu berfungsi secara optimal dalam lingkungan sosialnya. Pengertian ini terdapat aspek individu dan aspek lingkungan.

4.   Sehat mental karena tumbuh dan berkembang secara positif Frank, L. K. (dalam Notosudirjo & Latipun, 2005) merumuskan pengertian kesehatan mental secara lebih komprehensif dan melihat kesehatan mental secara ”positif”. Dia mengemukakan bahwa kesehatan mental adalah orang yang terus menerus tumbuh, berkembang dan matang dalam hidupnya, menerima tanggung jawab, menemukan penyesuaian (tanpa membayar terlalu tinggi biayanya sendiri atau oleh masyarakat) dalam berpartisipasi dalam memelihara aturan sosial dan tindakan dalam budayanya.


     Dari berbagai pengertian yang ada, Johada (dalam Notosoedirjo dan Latipun, 2005), merangkum pengertian kesehatan mental dengan mengemukakan tiga ciri pokok mental yang sehat :

  • Seseorang melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan atau melakukan usaha untuk menguasai, dan mengontrol lingkungannya, sehingga tidak pasif menerima begitu saja kondisi sosialnya.
  • Seseorang menunjukkan kebutuhan kepribadiannya mempertahankan integrasi kepribadian yang stabil yang diperoleh sebagai akibat dari pengaturan yang aktif.
  • Seseorang mempersepsikan “dunia” dan dirinya dengan benar, independent dalam hal kebutuhan pribadi.

   
B.F. Skinner : Teori Kepribadian Behaviorisme

A.       Pendekatan Psikologi Skinner

1.   Tentang Otonomi Manusia
Skinner menolak seluruh penguraian tingkah laku yang didasarkan pada keberadaan agen hipotesis yang terdapat dan menentukan diri manusia seperti self, ego dan sebagainya. Menurut Skinner mekanisme mentalistik dan intrapsikis itu bersumber pada pemikiran animisme. Skinner menentang anggapan mengenai adanya “agen internal” dalam diri manusia yang menjadikan manusia memiliki otonomi atau kemandirian dalam bertingkah laku. Keberadaan manusia otonom itu bergantung pada pengetahuan kita, dan dengan sendirinya akan kehilangan status dan tidak diperlukan lagi apabila kita mengetahui lebih banyak tentang tingkah laku. Skinner berpendapat bahwa kita tidak perlu mencoba untuk menemukan apa itu kepribadian, keadaan jiwa, perasaan, sifat-sifat, rencana, tujuan, sasaran atau prasyarat-prasyarat lain dari manusia otonom dalam rangka memperoleh pemahaman mengenai tingkah laku manusia.
2.   Penolakan atas penguraian fisiologis-genetik
Skinner tidak percaya bahwa jawaban akhir dari pertanyaan-pertanyaan psikologi akan bisa ditemukan dalam laboratorium ahli fisiologi. Penolakan Skinner atas penguraian atau konsepsi-konsepsi fisiologis-genetik dari tingkah laku itu sebagian besar berlandaskan alasan bahwa penguraian semacam itu tidak memungkinkan kontrol tingkah laku.
3.   Psikologi sebagai ilmu pengetahuan tingkah laku
Skinner beranggapan bahwa seluruh tingkah laku ditentukan oleh aturan-aturan, bisa diramalkan dan bisa dibawa kedalam kontrol lingkungan atau bisa dikendalikan. Menurut Skinner, ilmu pengetauan tentang tingkah laku manusia, yakni psikologi, pada dasarnya tidak berbeda dengan ilmu pengetahuan lainnya yang berorientasi kepada data yang bertujuan untuk meramalkan dan mengendalikan fenomena yang dipelajari (dalam psikologi Skinner, fenomena yang dipelajari adalah tingkah laku).

4.   Kepribadian menurut perspektif  behviorisme
Menurut Skinner, individu adalah organisme yang memperoleh perbendaharaan tingkah lakunya melalui belajar. Dia bukanlah agen penyebab tingkah laku, melainkan tempat kedudukan atau suatu point dimana faktor-faktor lingkungan dan bawaan yang khas secara bersama menghasilkan akibat atau tingkah laku yang khas pula pada individu tersebut. Bagi Skinner, studi tentang kepribadian ditujukan kepada penemuan pola yang khas dari kaitan antara tingkah laku organism dan konsekuensi-konsekuensi yang diperkuatnya.

B.       Pengondisian Operan

      Skinner membedakan dua tipe respons tingkah laku, yakni responden dan operan. Dalam arti singkatnya, tingkah laku responden adalah suatu respons yang spesifik yang ditimbulkan oleh stimulus yang dikenal, dan stimulus itu selalu mendahului respons. Tingkah laku responden yang tarafnya lebih tinggi, dimiliki oleh individu melalui belajar dan bisa dikondisikan.

1.      Mencatat tingkah laku operant
 Skinner beranggapan bahwa hukum-hukum fungsional dari tingkah laku paling baik dikembangkan dengan memusatkan pada faktor-faktor yang meningkatkan dan atau mengurangi probabilitas kemunculan respons dilain waktu dari pada menciptakan stimulus spesifik yang memacu respons. Dalam pengondisian operant, tingkah laku organisme perlu diukur dan dicatat begitu tingkah laku itu muncul. Karena sumber data psikologi yang paling berarti adalah tingkatan merespon dari organisme (jumlah respon yang dihasilkan dari waktu tertentu).
2.      Jadwal penguatan
Inti dari pengondisian operan menunjukkan bahwa tingkah laku yang diberi penguatan akan cenderung diulang. Sebaliknya, tingkah laku yang tidak diberi penguatan (dihukum) akan cenderung dihentikan oleh organisme. Selanjutnya, yang dimaksud dengan jadwal penguatan itu sendiri adalah aturan yang menentukan dalam keadaan bagaimana atau kapan penguatan-penguatan akan disampaikan. Dalam sistem Skinner, terdapat beberapa jadwal penguatan yang bebeda, yang kesemuanya bisa dikategorikan menurut dua dimensi dasar, yaitu :
  • Penguatan yang diberikan hanya setelah organisme melalui interval waktu (disebut jadwal penguatan interval).
  • Penguatan yang diberikan hanya setelah organisme menunjukkan sebuah respons (disebut jadwal penguatan perimbangan).

3.      Tingkah laku takhyul
Pengondisian operan ini diantarai oleh kausal-temporal antara tingkah laku organisme dan konsekuensi-konsekuensi yang dihasilkannya. Tetapi sering terjadi kaitan antara respons dan hasil yang mengikutinya muncul semata-mata karena kebetulan. Tingkah laku yang disandarkan pada hubungan respon penguatan kebetulan itu disebut juga tingkah laku takhyul. Menurut Skinner, tingkah laku takhyul akan muncul dalam keadaan individu percaya bahwa tingkah laku tertentu yang diungkapkannya merupakan penyebab dari kejadian yang telah dan akan dialaminya. Skinner juga mengemukakan bahwa tingkah laku takhyul itu tidak hanya merupakan hasil dari pengalaman pribadi atau kisah pengondisian individual, melainkan banyak diantaranya yang berasal dari pengalaman bersama dan turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
4.      Shaping
Shaping adalah pembentukan suatu respons melalui pemberian penguatan atas respons-respons lain yang mengarah atau mendekati respons yang ingin dibentuk itu. Dengan demikian, peneliti bisa memperpendek waktu yang bisa diperlukan untuk mengondisikan respons, dan bisa juga meningkatkan rentang dari tingkah laku operan yang tidak bisa dicapai melalui pengondisian standar yang kaku.
5.      Pemerkuat sekunder
Skinner berpendapat bahwa pemerkuat itu terdiri dari dua jenis, yakni pemerkuat primer dan pemerkuat sekunder. Pemerkuat primer (pemerkuat tak berkondisi) adalah kejadian atau objek yang memiliki sifat memperkuat secara inheren. Sedangkan pemerkuat sekunder adalah hal, kejadian atau objek yang memiliki nilai pemerkuat respons melalui kaitan yang  erat dengan pemerkuat primer berdasarkan pengalaman pengondisian atas proses belajar pada organisme. Perubahan kecil dalam prosedur standar pengondisian operan menunjukkan bagaimana stimulus netral bisa memperoleh daya atau nilai pemerkuat bagi suatu tingkah laku. Hal yang paling penting bagi pemerkuat sekunder adalah kecenderungannya untuk digeneralisasikan apabila dipasangkan dengan lebih dari satu pemerkuat primer. Skinner menyatakan bahwa pemerkuat sekunder memang memiliki daya yang besar bagi pembentukan dan pengendalian tingkah laku. Tetapi, karena masing-masing individu mempunyai pengalaman yang berbeda, maka nilai pemerkuat sekunder itu belum tentu sama bagi semua orang.

Fenomena
Dalam psikologi perkembangan remaja dikenal sedang dalam fase pencarian jati diri yang penuh dengan kesukaran dan persoalan. Fase perkembangan remaja ini berlangsung cukup lama kurang lebih 11 tahun. Mulai usia 11-19 tahun pada wanita dan 12-20 tahun pada pria. Fase perkebangan remaja ini dikatakan fase pencarian jati diri yang penuh dengan kesukaran dan persoalan adalah karena dalam fase ini remaja sedang berada di antara dua persimpangan antara dunia anak-anak dan dunia orang-orang dewasa. Kesulitan dan persoalan yang muncul pada fase remaja ini bukan hanya muncul pada diri remaja itu sendiri melainkan juga pada orangtua, dan masyarakat. Dimana dapat kita lihat seringkali terjadi pertentangan antara remaja dengan orangtua, bahkan dikalangan remaja itu sendiri. Mengapa hal ini bisa terjadi? Secara singkat dapat dijelaskan bahwa keberadaan remaja yang ada di antara dua persimpangan fase perkembanganlah (fase interim) yang membuat fase remaja penuh dengan kesukaran dan persoalan.
Dapat dipastikan bahwa seseorang yang sedang dalam keadaan transisi atau peralihan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain seringkali mengalami gejolak dan goncangan yang terkadang dapat berakibat buruk bahkan fatal (menyebabkan kematian). Namun, pada dasarnya semua kesukaran dan persoalan yang muncul pada fase perkembangan remaja ini dapat diminimalisir bahkan dihilangkan, jika orangtua, dan masyarakat mampu memahami perkembangan jiwa, perkembangan kesehatan mental remaja dan mampu meningkatkan kepercayaan diri remaja. Persoalan paling signifikan yang sering dihadapi remaja sehari-hari sehingga menyulitkannya untuk beradaptasi dengan lingkungannya adalah hubungan remaja dengan orang yang lebih dewasa, terutama sang ayah, dan perjuangannya secara bertahap untuk bisa membebaskan diri dari dominasi mereka pada level orang-orang dewasa.
Seperti contoh yang diambil di masyarakat, remaja melakukan bunuh diri ketika ia hamil diluar nikah dan pasangannya pergi tanpa tanggung jawab. Ia mengalami tekanan karena harus menanggung malu dan merasa menjadi aib di keluarganya. Sehingga ia mengambil jalan pintas dan bunuh diri sebagai solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalahnya. Padahal kenyataannya itu bukan penyelesain masalah yang tepat, ia malah melakukan hal yang berdosa.

Sumber   :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar